Kenapa Ekonomi Era Jokowi Banyak Dikritik Jelang Akhir Jabatan?


Di penghujung masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, klaim keberhasilan di sektor ekonomi sering diangkat. Namun, sejumlah pengamat justru menyoroti beberapa masalah yang tak teratasi, salah satunya adalah Adrian Panggabean, seorang ekonom senior yang memaparkan enam masalah ekonomi utama selama satu dekade Jokowi memimpin.

Adrian menyoroti bahwa pasar saham yang menjadi barometer dinamika keuangan dan sektor riil di Indonesia kurang menarik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berada di level 5.068 saat Jokowi pertama kali menjabat hanya naik ke 7.760 pada penutupan pekan ini.

Meski ada kenaikan, angka ini dianggap kurang signifikan untuk menunjukkan kemajuan yang berarti.

Masalah lain adalah stagnasi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi hanya mencapai 3,85 persen, yang jauh dari target ambisius yang pernah dijanjikan.

Memang ada dampak dari pandemi yang sempat menghantam ekonomi global, namun hingga triwulan ketiga 2024, pertumbuhan ekonomi RI hanya tercatat sebesar 5,1 persen, sebuah angka yang masih belum memuaskan.

Selain itu, suku bunga deposito yang tetap tinggi menjadi masalah tersendiri. Perkembangan kredit juga melemah karena suku bunga acuan hanya turun 170 basis poin selama Jokowi memimpin. Ini berdampak pada terbatasnya akses pembiayaan yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih pesat.

Adrian juga menyoroti masalah rasio pajak yang stagnan. Menurutnya, selama satu dekade terakhir, rasio pajak tidak menunjukkan perkembangan signifikan. Hal ini berdampak pada penerimaan negara yang seharusnya bisa lebih optimal untuk membiayai berbagai program pembangunan.

Nilai tukar rupiah juga mengalami anjlok yang parah. Adrian menyebut penurunan ini sebagai yang terburuk dalam 25 tahun terakhir.

Selama satu dekade, rupiah sempat mencapai titik terendah di angka Rp 17.000 per dolar AS, dan secara keseluruhan, mata uang Indonesia turun sekitar 40 persen selama masa kepresidenan Jokowi. Ini adalah penurunan yang dianggap sangat suram oleh banyak pengamat.

Peringkat surat utang negara juga tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Indonesia masih mendapatkan rating BBB dari lembaga pemeringkat internasional, yang berarti negara memiliki kapasitas untuk memenuhi komitmen keuangan, tetapi tetap rentan terhadap fluktuasi ekonomi global.

Hal ini menunjukkan bahwa di sektor keuangan, tidak ada kemajuan yang cukup berarti.

Ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky, juga memberikan kritiknya. Meski cadangan devisa Indonesia mengalami peningkatan, namun kenaikannya dinilai tipis dibandingkan dengan era Susilo Bambang Yudhoyono yang mencatat kenaikan hingga tiga kali lipat.

Awalil juga menyebutkan bahwa pelemahan rupiah menjadi indikator bahwa masih ada masalah mendasar dalam pengelolaan ekonomi. Tak hanya itu, utang pemerintah yang terus membengkak semakin menambah beban bagi pemerintahan Jokowi di akhir masa jabatannya.

Jokowi memulai masa kepemimpinannya dengan utang warisan dari Susilo Bambang Yudhoyono sebesar Rp 2.608,7 triliun. Namun, berdasarkan laporan terbaru dari Kementerian Keuangan, hingga akhir September 2024, utang pemerintah sudah mencapai Rp 8.641 triliun.

Angka yang jauh melampaui ekspektasi dan menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan ekonomi di masa depan.
Baca Juga
Posting Komentar